Sabtu, 18 Februari 2017

Kelas Inspirasi Kebumen #2 (MI Muhammadiyah Redisari)


Kelas Inspirasi adalah membuat sebuah memori untuk bisa diceritakan kepada siapapun yang peduli pada cita-cita anak negeri, pada siapapun yang memiliki frekuensi yang sama dengan kami untuk saling berbagi dan pada siapapun yang sekedar tertarik untuk mendengarkan cerita hari inspirasi kami.
Kelas Inspirasi merupakan turunan dari Indonesia Mengajar dengan sebuah tag line “Cuti Sehari, Menginspirasi Selamanya.”

Ini adalah kali pertama saya mengikuti Kelas Inspirasi atau yang sering kami sebut KI. Ada berbagai alasan yang membuat hati saya tergerak untuk mengikuti kegiatan ini.
©      Pertama, Ibu saya adalah seorang guru SD di sebuah desa. Saya hanya ingin sekedar mencoba bagaimana rasanya pekerjaan yang dilakukan ibu saya selama puluhan tahun lamanya.
©  Kedua, saya ingin mencoba tantangan baru untuk mengajar anak-anak di depan kelas. Memahamkan secara sederhana kepada mereka tentang profesi saya.
©    Ketiga, saya berharap bisa mengubah pemikiran mereka bahwa ada begitu banyak cita-cita positif di luar sana yang bisa mereka raih.
©   Keempat, saya ingin membuat sebuah memori indah dalam perjalanan hidup. Setidaknya memori ini bisa saya ceritakan suatu saat nanti kepada anak-anak saya.

Kegiatan kami pun dimulai dari sini.
Hari pertama. Sabtu, 29 Januari 2017. Briefing. Bertempat di Roemah Budaya Martha Tilaar.

Berkumpul dengan semua Relawan Pengajar, Relawan Dokumentator dan Fasilitator. Mengikuti segenap materi mulai dari tips-tips bagaimana membuat ice breaking hingga bagaimana menyampaikan materi ajar yang menarik. Membuat konsep secara ide maupun teknis acara pada masing-masing kelompok. Saya mendapat kelompok di MI Muhammadiyah Redisari, Kecamatan Rowokele.

©      Hari Kedua. Minggu, 30 Januari 2017. Survei Lokasi.

Sebenarnya kegiatan ini tidak diwajibkan, hanya inisiatif dari masing-masing kelompok saja. Sekitar 45 menit perjalanan menuju lokasi dari kota Gombong. Di MI Muhammadiyah Redisari kami benar-benar merasakan sambutan yang baik dan hangat dari beberapa guru di sana. Dengan suguhan ala-ala jajanan pasar dan sate ayam ala bakul keliling, kami sudah merasa diistimewakan oleh mereka. Survei kali ini kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk hari inspirasi nanti. Mengecek lokasi dari kelas, perpustakaan, mushola hingga toilet. Air di sini sangat jernih dan bersih. Namun ada yang menarik bagi saya, toilet di sini lain dari biasanya.

Penampakan air sungai di dekat sekolah

Bisa membayangkan toilet di sini?

©      Hari Ketiga. Senin, 31 Januari 2017. Hari Inspirasi.
Inilah hari yang ditunggu-tunggu plus hari yang bikin deg-degan. Sepanjang jalan masih terus berpikir bagaimana cara menghadapi anak-anak kelas 1 s.d. kelas 3 yang cenderung masih belum terlalu paham akan analogi profesi, karena ini baru pertama kali menghadapi “monster-monster” kecil dengan berbagai karakteristik di tiap kelasnya. Semua relawan mendapat 5 kali jam mengajar dan  saya mendapat urutan mengajar dimulai dari kelas 2, 3, 4, 5, dan 6.
Saya membawa berbagai alat peraga yang telah disiapkan dua minggu sebelum acara ini. Untungnya Pajak memiliki maskot berupa lebah “Kojib” yang bisa menjadi alat peraga yang menarik perhatian anak-anak. Setidaknya sedikit membantu meski sebenarnya ribet juga karena saya membuat sebuah wayang-wayangan dengan gambar lebah.
Acara pertama dimulai dengan upacara pengibaran bendera merah putih. Entah, mungkin saya sudah lupa rasanya mengikuti upacara seperti ini. Upacara kali ini berhasil membawa memori saya kembali ke masa sekolah, dimana upacara terkadang menjadi hal yang menyebalkan karena harus berdiri panas-panasan. Tapi bisa jadi sangat menyenangkan karena mengurangi satu jam pelajaran di kelas. Melihat mereka seperti melihat saya masa kecil yang bahkan saat seperti mereka itu saya belum memiliki cita-cita. Saya belum tahu akan menjadi seperti apa ketika sudah besar nanti. Bahkan mungkin saat seusia mereka yang sedang berbaris di depan saya sekarang ini, saya belum terpikir untuk membuat sebuah cita-cita.




Penyambutan yang hangat dari pihak sekolah membuat kami merasa dihargai di sekolah ini. Mereka sepenuhnya percaya bahwa kami para relawan khususnya relawan pengajar mampu menginspirasi anak didik mereka. setelah sambutan dari pihak sekolah, kini giliran saya membuat sebuah sambutan sebagai perwakilan relawan. Sudah saya siapkan sedikit contekan poin-poin yang ingin disampaikan, maklum saya jarang sambutan di depan umum hehe.. Yah tapi namanya juga grogi, ada beberapa poin yang lupa saya sampaikan. Untungnya waktu harus dipercepat supaya sesuai dengan rundown acara. Setelah upacara selesai saya pun masih harus memimpin flashmob berupa senam penguin. Memimpin karena sedikit dipaksa oleh teman-teman. Apa boleh buat demi anak-anak lucu ini, saya pun mulai berlenggak-lenggok seperti penguin. Menempatkan diri saya pada posisi seperti anak kecil. Ukuran tubuh memang boleh seperti anak kecil, terkadang tingkah laku juga masih sih, tapi pemikiran gak boleh kayak anak kecil terus hehe.. Saya berusaha menghapalkan gerakan senam ini malam sebelumnya, jadi saat memimpin banyak improvisasi yang saya buat sendiri gerakannya. Ngasal banget deh pokoknya, yang penting kami berhasil membuat mereka tertawa lepas, hanya itu saja harapan kami.

Relawan mengikuti shalat dhuha bersama (ritual setiap pagi)

Pengibaran Bendera Merah Putih


Penghormatan Bendera Merah Putih

Senam Penguin


Kelas pertama pun dimulai.
Di kelas dua, saya mulai mengendap-endap masuk ke dalam kelas dengan mengintip sedikit dari pintu dengan memasukkan tangan saya yang memegang boneka lebah ke dalam kelas.
“Halooo,, Assalamulaikum, ada yang tau ini apa?” Saya mulai mencuri perhatian mereka.
“Lebaaahh.” Mereka menjawab sambil tertawa lirih-lirih.
“Boleh nggak saya masuk?”
“Walaikumsalaaaamm,, booooleeehh.”  Aah senangnya saya disambut oleh mereka.
Kelas pertama ini saya nikmati dengan semampu saya. Anak-anak yang masih polos dan mungkin belum begitu mengerti apa itu cita-cita. Saya membuat sebuah permainan dimana yang berani maju untuk menceritakan cita-citanya akan diberi salam hebat oleh semua teman-temannya di kelas. Misalnya “Ilham kamu hebaaatt” sambil memberikan dua jempol jari kepada Ilham. Salam ini saya pelajari dari diklat yang pernah saya ikuti. Sebagai rasa apresiasi teman-teman sekelas terhadapnya karena sudah berani maju ke depan untuk menceritakan cita-citanya. Kami bermain-main dengan alat peraga yang sudah saya bawa. Tidak terasa time keeper di luar kelas sudah memberikan kode, waktu saya tinggal 5 menit lagi dan waktunya saya membuat sebuah penutupan untuk kelas pertama ini.
Begitu keluar dari kelas pertama hati saya senang karena saya berhasil mengatasi sebuah kelas banyak “monster kecil” di dalamnya.
Memasuki kelas kedua yaitu kelas tiga masih belum merasakan perbedaan dengan kelas sebelumnya. Mungkin karena usia yang masih sama karakternya. Saya pun masih bisa mengatasinya.

Bermain menggunakan alat peraga

Berbeda dengan kelas yang ketiga yaitu kelas empat. Saya hampir mati gaya karena kehabisan ide untuk mengajar. Bahkan di waktu terakhir saya sempat kewalahan karena ada seorang anak berkulit hitam yang duduk di pojok belakang, namanya Nanda. Dia menangis tersedu-sedu sambil menundukkan wajahnya di atas meja.
Saya pun mulai mengusap punggungnya dan berkata “Nanda kenapa nangis?” sayang berkali-kali saya tanya demikian dia tidak mau menjawab.
“ Ada yang nakalin kamu ya?” saya berusaha mencari tahu.
Dia pun mengangguk.
Duuuhh gawat, bagaimana ini? Bagaimana cara saya mengatasi kondisi seperti ini. Sedangkan anak-anak sudah mulai gaduh.
Seraya anak-anak yang lain berkata “Itu bu, Nanda nakal. Biasa itu bu, Nanda nakal.” 
Loh kok jadi Nanda yang nakal. Kan tadi Nanda yang bilang dinakalin. Ohh iya saya lupa, jelas dia ngaku kalo dinakalin lah, kan saya yang nanya Nanda dinakalin sama siapa? Hehe..
Saya bingung dengan kondisi ini, untung ada relawan fotografer yang menyelamatkan saya dengan mengajak semua siswa foto bersama, setidaknya saya bisa mengulur waktu untuk meminta bantuan guru kelas untuk menghadapi Nanda yang masih menangis.
Baru saja saya melongok keluar kelas untuk mencari guru kelasnya, dan kembali pandangan saya ke dalam kelas. Oohhh noooo, si Nanda sudah berada di meja paling depan dan memegang kerah temannya itu sambil muka marah dan tegang. What?? Ini ada apa lagi? Hhhh,, nafas saya berhembus panjang “Nak, kalian kenapa nakal-nakal sih?” dalam hati saya berkata. Untungnya teman-temannya dapat melerai mereka berdua. Dan setelah kelas usai saya baru tahu kalau mereka bertengkar karena berebut alat peraga yang saya bawa. Saya lupa, info yang diberikan dari bapak ibu guru memang kelas 4 yang paling susah di atasi. Pantas saja saya hampir kewalahan.
Keluar dari kelas 4, saya bisa bernafas lega. Bel berbunyi dan waktunya istirahat. Saya benar-benar kelelahan seperti dua hari nggak makan, lapar sekali rasanya berbicara selama 3 jam pelajaran di 3 kelas. Begini toh rasanya jadi guru. Pantas saja ibu saya selalu pernah bilang kalau mau puasa sunah rasanya haus sekali karena seharian ngomong di depan kelas yang lebih sering untuk susah diatur. Dan sekarang merasakan pekerjaan yang ibu saya lakukan berpuluh tahun lamanya.

Waktu saya menanyakan cita-cita mereka

Bersama "Monster-Monster" Kelas 3
"Yang dengar suara Ibu tunjuk meja,
Yang dengar suara Ibu tunjuk pintu,
tunjuk kursi,
tunjuk peta,
tunjuk buku,
tunjuk Ibuuuuu..." Fiuuhhft saya berhasil menguasai kelas yang gaduh ini. dan saya pun mendapatkan momen bagus untuk di dokumentasikan saat saya ditunjuk mereka hehe...


Saya ditunjuk oleh merekaaaa

Selfie sejenak dengan para "Monster"

Istirahat telas usai. Cukuplah saya mengisi energi selama 15 menit. Setidaknya minum saja sudah cukup mengembalikan energi saya. Sekarang waktunya saya mengisi dua kelas terakhir yaitu kelas 5 dan 6.
Rupanya berada di dua kelas ini memberikan saya banyak waktu untuk istirahat. Mereka sangat mudah diatur dan cepat sekali menaggapi apa yang saya ceritakan. Feedback mereka sangat cepat dan mudah diterima. Syukurlah setidaknya saya berada di sebuah kelas yang bisa diajak untuk berpikir tentang cita-cita yang sebenarnya. Mungkin karena secara usia mereka sudah lebih bisa menangkap apa yang saya sampaikan. Perilaku mereka secara umum baik dan sopan. Saya memberikan metode pengajaran yang berbeda di dua kelas ini. Menggunakan alat peraga yang lain dari 3 kelas sebelumnya.
Di kelas terakhir yaitu kelas 6, saya memberikan pengajaran persis dengan yang saya berikan di kelas 5. Kemudian di sesi terakhir kelas ini. Mereka semua diharuskan menuliskan cita-cita mereka di sebuah pohon cita-cita.

Bersama "Monster" kelas 5, setelah memperagakan alat peraga
Pohon Cita-Cita Kelas 6
Cita-citaku menjadi Sopir

Aahh rasanya bahagia sekali mengikuti Kelas Inspirasi. Tawa dan senyum saya bisa begitu lepas, seperti tanpa ada beban. Bahagia memang tidak selalu berharap untuk diberi tapi bisa dengan berbagi.

Terima Kasih untuk seluruh Tim Relawan Pengajar, Relawan Dokumentator dan Fasilitator KI MI Muhammadiyah Redisari "Setinggi Walet Terbangkan Mimpi Anak Negeri".
Terima Kasih untuk Ibu dan Bapak Guru yang menyambut kami dengan hangat dan tentunya untuk "monster-monster" kecil yang menggoreskan memori indah untuk kami.
Seluruh Relawan, Fasilitator, dan Para Guru

Kelas Inspirasi MI Muhammadiyah Redisari

Link Video Youtube: Kelas Inspirasi MI Muhammadiyah Redisari__Klik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar